Satish Rai, seorang pria asal India memiliki toko elektronik kecil, terletak di dalam gang di jalanan kota Mumbai. Di depan toko tertulis nama dalam bahasa India yang artinya kira-kira adalah “Institut Teknik Serbaguna”. Tidak hanya menjual telepon selular dan aksesorinya, Satish Rai juga memiliki bengkel reparasi telepon selular. Ingin memperbaiki iPhone yang rusak? Install ulang software smartphone? tidak masalah baginya. Namun dibalik semua itu, Satish Rai memiliki sesuatu yang lebih dari pada hanya sekedar memperbaiki perangkat selular.
Dengan biaya sekitar 5.000 Rupee, atau sekitar kurang dari 600.000 Rupiah, Rai akan memberikan pelatihan untuk melakukan hal yang sama seperti yang dilakukannya. Setiap bulannya ia menerima murid baru yang akan diberikan pelatihan dengan biaya yang jauh lebih murah dibanding institusi formal. Ia akan memberikan ketrampilan teknis kepada mereka dan mengajarkan bagaimana mendirikan bisnis mereka sendiri.
(Gambar 2, Satish Rai dan Siswanya) Berada di belakang tokonya, Satish Rai mengajarkan kepada salah satu siswanya dasar-dasar teknologi “murah”.
Melansir dari Wired, “Hal ini merupakan fenomena baru, lima, enam, tujuh tahun yang lalu, orang-orang seperti Satish Rai ini tidak ada”, ujar Vinay Venkatraman dari Copenhagen Institute of Interaction Desain, dimana ia juga sedang meneliti tentang Digital Frugal (Digital Frugal adalah pemanfaatan teknologi berbiaya murah dan tepat guna). “Mereka telah berkembang dalam beberapa tahun terakhir”. Sebagai seorang desainer dan teknolog, Venkatraman mengagumi sosok seperti Satish Rai, bukan kepada apa yang dapat ia lakukan namun lebih kepada apa yang diwakilinya. “Dia adalah pengusaha digital generasi berikutnya”.
Bengkel telepon selular adalah gambaran pertumbuhan ekonomi di negara dunia berkembang, banyak bermunculan di jalanan mulai dari Brasil hingga ke Burkina Faso, Mali. Mereka adalah masyarakat dengan pendidikan informal, gambaran cepatnya sebuah transfer teknologi di negara berkembang. Walaupun sebagian besar usaha mereka masih berskala kecil yang hampir tidak tampak, namun pengetahuan akan teknologi dapat tersebar dengan cepat melalui lembaga informal seperti yang dimiliki Satish Rai.
(Gambar 3, Inkubator Bayi) Dengan harga sekitar US $200, selimut penghangat bayi ini merupakan alternatif yang jauh lebih murah, berfungsi sebagai inkubator dimana harga inkubator pada umumnya sangatlah mahal. Digunakan di rumah sakit pedesaan seperti Rumah Sakit SVYM di Sargurm Karnataka. Selimut ini didesain di California dan kemudian dikembangkan di Bangalore, India. Selimut ini dapat mempertahankan tubuh bayi pada suhu 37 derajat celcius selama 6 jam.
Dalam beberapa hari saja banyak bermunculan perangkat baru di pasaran, orang-orang seperti Satish Rai yang banyak bermunculan di India, Filipina maupun ataupun di Bangkok akan mengambil bagian dan mengartikan teknologi tersebut dengan cara mereka yang lebih sederhana. Dalam beberapa minggu, muncul buku-buku panduan murah, menjelaskan teknologi baru yang dijual di pasaran. Dipenuhi dengan foto dan penjelasan, publikasi memungkinkan siapa saja dengan beberapa alat sederhana mampu memperbaiki sebuah telepon selular canggih.
Teknik-teknik perbaikan yang digunakan pun dapat dibilang sangat sederhana. Ingin memperbaiki sebuah chip pada telepon selular yang rusak, tetapi tidak ingin menggantinya dengan harga yang mahal? Solusinya sederhana: dengan menyemprotkan busa pada chip dan melihat bagian mana gelembung buih cepat meleleh dan kemudian memeriksa pola di gambar manual satu kasus pun mulai dapat didiagnosis.
(Gambar 4, Mendiagnosis Papan Sirkuit Rusak) Tidak ada osiloskop? Kamu dapat menemukan chip yang mati pada papan sirkuit dengan menggunakan busa sebagai alat diagnostik. Buih akan meleleh pada bagian yang rusak.
Venkataraman percaya bahwa Rai dan rekan-rekannya adalah kunci inovasi di negara berkembang. Mereka juga melihat hal ini sebagai inovasi “murah” yang memiliki dampak besar. Metode yang digunakan seperti Satish Rai di Mumbai akan mengubah cara pandang negara Barat atas teknologi dan desain produk.
Cara pandang dengan mengedepankan konsep “murah” bertujuan untuk membangun produk dengan sumber daya terbatas, namun mampu memberikan solusi nyata. Bagaimana jika di masa depan korporasi besar akan memproduksi produk mereka dengan mengkedepankan konsep berbiaya rendah namun mampu berfungsi dengan baik?
(Gambar 5, Alat tes pendengaran) Pengembangan teknologi murah di Copenhagen, menggabungkan sebuah aplikasi Android dan smartphone yang mampu menghasilkan nada-nada untuk uji pendengaran dengan biaya yang murah. Aplikasi ini hanya sedikit kurang akurat daripada alat professional seharga jutaan rupiah. Hanya dibutuhkan kurang dari 4 juta rupiah untuk membuat alat ini.
Konsep ini sebernarnya sudah dilakukan di negara berkembang. Perusahaan multinasional seperti Tata (bergerak di industri penerbangan, otomotif, baja, dan minuman) telah berpikir untuk lebih “hemat”. Pada tahun 2004 perusahaan telah menciptakan penjernih air sederhana “Sujal” yang menggunakan sistem penyaringan menggunakan sekam padi yang mana diketahui sekam merupakan sisa dari penggilingan padi.
Bekerja sama dengan Harvard Business School, perusahaan asal India Godrej mulai mengembangkan lemari es seharga kurang dari 600.000 ribu rupiah untuk daerah dimana aliran listrik hanya berdaya kecil. Pada tahun 1968, di Indiapun telah dikembangkan kaki palsu (prostetik) dengan biaya jauh murah yang terbuat dari polyurethane. Produk ini tidak seharga jutaan rupiah seperti kaki prostetik yang dikembangkan oleh perusahaan-perusahaan besar dunia, namun dapat berfungsi dengan baik. Hal ini merupakan inovasi dan kreatifitas yang telah berkembang.
(Gambar 6, Proyektor dari smartphone) Teknologi murah banyak dikembangkan di India yang dibuat dari perangkat mobile. Dengan menggunakan smartphone 3G dapat diciptakan proyektor bertenaga baterai, menggunakan kompoen lokal untuk digunakan di sekolah-sekolah terpencil. Proyektor dilengkapi konektivitas data dan layar sentuh pada ponsel dapat digunakan sebagai trackpad.
Inovasi semacam ini pun juga terjadi di Nigeria. Seorang mantan karyawan Microsoft, Femi Akinde, merasa frustasi karena ia tidak dapat membeli tiket pesawat melalui smartphone yang dimilikinya. Kemudian muncullah pertanyaan, mengapa tidak adak perusahaan di Nigeria yang berinvestasi dalam e-commerce? Masalahnya adalah tidak ada perusahaan yang mau untuk menginvestasikan dananya untuk sesuatu yang beresiko. Akinde pun kemudian meresponnya dengan menciptakan sebuah platform telepon selular ultra murah e-commerce, Mobiashara. Dengan menggunakan sms, semua dapat terhubung dan semua orang dapat mendapatkan barang yang mereka inginkan secara online.
(Gambar 7, Jam Alarm Pemantau Darah) Didesain di Copenhagen, Denmark, setelah penelitian di Mumbai Menggunakan bodi jam analog untuk mengukur jumlah haemoglobin oksigen dalam darah. Berkat dua LED dan sensor cahaya sederhana (dari remote TV) perangkat dapat memberikan informasi sederhana dari kesehatan pasien secara keseluruhan. Sensor lain juga dapat dihubungkan melalui USB.
(Gambar 8, Eranger) Motor ini adalah sebuah ambulans yang dilengkapi dengan tandu. Digunakan hampir diseluruh Afrika untuk kebutuhan medis murah dan cepat. Biaya yang dibutuhkan adalah seperempat lebih murah daripada dari pada ambulans pada umumnya.
Dalam sebuah kunjungan risetnya di India, Ventrakaman pergi mengunjungi Indian Institute of Technology, Bombay (sebuah tempat teknologi bergengsi di India) untuk melihat super komputer yang mereka miliki. Setelah berjalan berkeliling ruangan melewati laboratorium berukuran besar, ia mendapati ruangan yang banyak kosong.
Namun apa yang dilihatnya di seberang jalan, terdapat sebuah lembaga pelatihan seperti milik Satish Rai. Mereka memiliki banyak murid yang antusias dan kelas-kelas penuh sesak. Mungkin di masa depan inovasi dan perkembangan teknologi akan dimulai dari orang-orang ini dan ratusan produk baru akan keluar dari perekonomian informal. Sebuah gambaran generasi baru teknologi.
Via: Wired