Sejarah lahirnya negara Indonesia tidak dapat lepas dari berbagai peristiwa yang pernah terjadi di Jawa. Salah satu fotografer yang memiliki peranan penting dalam mendokumentasikan berbagai budaya, seni dan peristiwa yang terjadi di Yogyakarta dan sekitar Jawa Tengah adalah Kassian Cephas. Ia merupakan seorang fotografer pribumi paling awal dari Kesultanan Yogyakarta.
Nama Kassian kemungkin besar dari kata “Kasihan” yang dalam bahasa Jawa berarti “kasih”. Putra dari Kartodrono dan Minah, pasangan pribumi ini, lahir di Yogyakarta pada 15 Januari 1845 dengan nama Kassian. Kassian mengambil nama Cephas sebagai nama baptis yang kemudian pada 1889 diresmikan sebagai nama marga.
Kassian belajar menjadi jurufoto di bawah petunjuk jurufoto pemerintah yang bekerja untuk Sultan Yogyakarta waktu itu, Simon Willem Camerik. Pejabat Letnan Dua militer sipil ini tiba di Yogyakarta pada tahun 1861 dan meninggalkan Yogyakarta tahun 1871. Selain Camerik, orang yang sangat penting di dalam karir Kassian yaitu Isaäc Groneman, dokter resmi Sultan Hamengkubowono VI. Mantri yang sebelumnya bekerja selama beberapa tahun di Bandung ini datang ke Yogyakarta pada 1869.
Pada akhir 1870-an dan 1880-an, Groneman mulai mempunyai minat kuat di bidang sejarah dan budaya Jawa. Pada 1885, dia adalah salah satu dari pendiri dan anggota Vereeniging voor Oudheid, Land, Taal en Volkenkunde te Jogjakarta, atau Perkumpulan Arkeologi, Geografi, Bahasa, dan Etnografi Yogyakarta. Kassian Cephas menjadi anggota perkumpulan ini dan menjadi jurufoto di dalam banyak penelitian, baik yang dilakukan oleh perkumpulan maupun Groneman pribadi.
Kassian banyak berkarya selama pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VII. Beliau naik tahta pada tanggal 13 Agustus 1877, menggantikan ayahnya, Hamengkubuwon0 VI. Foto pertama yang dapat dibilang sebagai karya Kassian Cephas adalah tentang Borobudur dan berangka tahun 1872.
Ketika terbit koran pertama Yogyakarta, Mataram, Cephas memasang iklan di dalam edisi perdananya, 15 Januari 1877, mengumumkan bahwa studio buka 7.30–11.00 pagi. Pada Juni 1877, studio harus ditutup sementara, karena hujan deras yang membanjiri daerah Loji Kecil menyebabkan kerusakan yang cukup parah. Setelah itu, Cephas tidak lagi rutin mengiklankan usaha fotografinya di koran.
Studio Cephas di Loji Kecil hampir pasti menjadi tempat pengambilan gambar banyak potret orang dan keluarga. Namun demikian, sulit ditentukan apakah banyak potret keluarga Keraton, termasuk Sultan, juga dibuat di sana. Di samping potret, Cephas juga membuat banyak foto bangunan, jalanan, dan monumen kuno, baik di dalam kota maupun jauh di luar kota.
Cephas pertama dicantumkan namanya sebagai jurufoto topografi untuk khalayak nonlokal di dalam artikel Groneman yang ditulis untuk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Masyarakat Seni dan Ilmiah Batavia. Di dalam artikel ini, yang mengangkat topik istana air Tamansari, Januari 1884. Groneman menyatakan bahwa ‘sang jurufoto Jawa’ Cephas membuat beberapa ‘fotogram’ yang bagus dari reruntuhan Tamansari.
Di dalam pengantar In den Kedaton te Jogjåkartå, Groneman menyebut bahwa seni tari Hindu-Jawa klasik masih terpelihara secara luar biasa di daerah Jawa Tengah, khususnya Yogyakarta. Dengan seijin Sultan Hamengkubuwana VII, Cephas menghasilkan lebih dari 16 gambar dari adegan tari. Karena biaya reproduksi yang tinggi, penerbit terpaksa membatasi publikasi 16 collotype saja.
Pada 1886, Cephas membeli kamera untuk ‘photographie instantanée’. Kamera jenis ini dapat mengambil gambar di dalam 1/400 detik, yang merupakan kemajuan besar. Sebelumnya, orang yang difoto harus diam tidak bergerak selama beberapa saat. Cephas membuat foto dari beberapa tempat di kota dengan kamera baru itu dan menjual cetakan foto ukuran besar, kepada masyarakat seharga f. 1. (Gulden) tiap fotonya. Foto-foto itu dijual sebagai kepada anggota elite Eropa lokal ketika mereka meninggalkan Yogyakarta.
Pada 1888, Cephas memulai prosedur guna diberi status hukum ‘gelijkgesteld met Europeanen’, atau ‘setara dengan orang Eropa’, Akhirnya, pada Oktober 1891, Kassian, dan anak-anaknya, Sem dan Fares diberi pengakuan status hukum sebagai orang Eropa oleh Gubernur Jenderal. Kassian dan anak-anaknya tetap pribumi, namun memperoleh hak untuk diperlakukan sesuai hukum dan aturan Eropa, dan tidak dengan aturan pribumi. Salah satu konsekuensinya, dia diharuskan menikahi istrinya, Dina, sekali lagi, kali ini menurut hukum Eropa. Upacara pernikahan berlangsung pada Desember 1893.
Setelah Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (Royal Institute for Linguistics and Anthropology) di Den Haag menerbitkan karya Kassian Cephas mengenai Prambanan, tulisan Groneman De garebeg’s dikirimkan untuk kali kedua kepada Institute. Sekali lagi, Dewan menolaknya. Namun demikian, pada awal 1895, pada rapat umum tahunan Institute, beberapa anggota mengajukan permohonan untuk penerbitan karya tulis yang menarik tersebut. Dewan akhirnya setuju menerbitkannya sebagai publikasi khusus. De garebeg’s te Ngajogyakarta dihiasi 25 ‘fotogram’ oleh Cephas. Kali ini, ‘fotogram’ yang dimaksud bukanlah collotype, melainkan cetakan blok proses.
Tahun berikutnya, untuk menghormati kegiatannya bagi Perkumpulan Arkeologi, Kassian Cephas dicalonkan menjadi anggota Royal Institute, yang dia terima dengan bangga di dalam sebuah surat bertanggal 15 Juni 1896.
Pada 1901, Kassian Cephas menerima tanda terimakasih lain dari Kerajaan Belanda. Pada perayaan ulang tahun Ratu Wilhelmina, dia diberi penghargaan medali emas Orange-Nassau. Kassian Cephas barangkali diberi penghargaan tersebut karena upayanya memotret dan melestarikan peninggalan arkeologis dan budaya Jawa.
Pada Juni 1899, Groneman dan Kassian Cephas bekerjasama untuk kali terakhir. Mereka meliput pertunjukan wayang orang Pregiwa, sebuah drama tari klasik, yang berlangsung selama empat hari dan bertempat di Keraton. Acara ini diselenggarakan untuk mengenang penobatan Putra Mahkota Gusti Raden Mas Putro alias Mengkunegara III, empat tahun sebelumnya.
Pada 1902, Kassian Cephas membuat beberapa foto wayang beber dari desa Gelaran di Gunung Kidul. Bentuk seni rakyat ini segera punah dari seluruh Jawa. Saat itu, hanya ada beberapa set gambar tersisa, yang dilukis di gulungan kertas dari kulit kayu. Satu-satunya wayang beber yang tersisa di Yogyakarta adalah di Gelaran, milik seseorang bernama Gunakarya. Masyarakat Yogyakarta hanya melihatnya pada kesempatan yang jarang, misalnya pada perayaan sunat Putra Mahkota atau pada 1898 saat memperingati penobatan Ratu Wilhelmina di Belanda.
Pada September 1902, wayang beber Gelaran dipesan oleh Patih, Kangjeng Raden Adipati Danureja VI, untuk dibawa ke Yogyakarta guna dipelajari oleh G.A.J. Hazeu, seorang guru Bahasa Jawa yang terkenal dari Batavia. Pada saat inilah wayang beber difoto oleh Cephas. Sayangnya, artikel Hazeu terbit tanpa ilustrasi.
Awal 1900-an, ayah dan anak Cephas tidak lagi banyak membuat foto untuk tujuan arkeologi dan umum. Pada 1901, pemerintah kolonial di Batavia mendirikan Oudheidkundige Commissie, atau Komisi Arkeologi, yang kegiatannya mencakup seluruh kepulauan Nusantara. Pada 1913, Komisi digantikan oleh Oudheidkundige Dienst, atau Layanan Arkeologi. Organisasi ini melakukan pengambilan foto sendiri. Pembentukan badan pusat demikian merupakan pukulan kuat bagi perkumpulan arkeologi amatir lokal, seperti Perkumpulan Arkeologi di Yogyakarta, yang memiliki jurufoto sendiri.
Menjelang usia 60 tahun, Kassian Cephas pensiun dari urusan fotografi, menyerahkannya sepenuhnya kepada anaknya, Sem. Selama beberapa waktu, Kassian menjadi ordonnans di Keraton, seorang petugas resmi yang mengantarkan surat dan bertindak sebagai perantara, di dalam upaya menjaga hubungan dengan Residen dan pejabat lain.
Pada 1905, Kassian ditunjuk menjadi ketua. Gelar barunya adalah hoofdordonnans atau wedanarodonas. Kassian dan istrinya, Dina, telah pindah dari Loji Kecil Wetan ke sebuah rumah di sisi timur laut Keraton, di Musikanan, tempat wedanarodonas biasa bertempat tinggal. Disebut Musikanan, karena di situ tinggal para pemusik kerajaan yang memainkan alat musik Eropa.
Pada 16 September 1911, istri Cephas meninggal dunia dan pada 16 November 1912, setelah menderita penyakit cukup lama, Kassian sendiri meninggal dunia, di dalam usia hampir 68 tahun. Seperti istrinya dan menantunya, Kassian dimakamkan di pekuburan yang terletak di antara pasar Beringharjo dan daerah Loji Kecil.
Itulah sekelumit cerita tentang Kassian. Meskipun namanya tidak setenar Raden Saleh, namun Kassian Cephas telah dianggap sebagai sosok penting yang telah memberikan kontribusi besar bagi kelahiran dunia fotografi di Indonesia.
Photograph via: Tropen Museum on Wikimedia Commons
Via: Wikipedia, Fotografi Indonesia